Masih ingatkah
Anda tentang isu yang santer terdengar bahwa hak paten Tempe dipegang oleh
negara Jepang? Semua orang pasti merasa kaget saat mendengar tentang isu
tersebut dan saya yakin itu termasuk Anda.
Dalam postingan kali ini saya ingin sharing tentang sebuah informasi seorang pengusaha Tempe di Jepang yang berasal dari Indonesia (orang jawa tengah. Indonesia Asli). Namanya adalah Rustono (41 tahun) pria yang sudah 13 tahun menetap di Jepang. Saat Rustono ditanya soal hak paten Tempe yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, ”Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.”
Dalam postingan kali ini saya ingin sharing tentang sebuah informasi seorang pengusaha Tempe di Jepang yang berasal dari Indonesia (orang jawa tengah. Indonesia Asli). Namanya adalah Rustono (41 tahun) pria yang sudah 13 tahun menetap di Jepang. Saat Rustono ditanya soal hak paten Tempe yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, ”Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.”
Menurut pengamatan
Rustono, makanan adalah kebutuhan paling
pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan
diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran
Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang.
Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang
rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.
Melihat peluang
itu, setelah kelahiran putrinya yang ketiga Rustono meminta izin istrinya
untuk kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.
Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi
rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman
para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa
gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun
pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi
tempe dengan baik.
Perjuangan berat
Rustono selanjutnya adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui
penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan
bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang
tertera di kemasan bahwa “kandungan gizi tempe kedelai
setara dan kandungan gizi daging“, termasuk mematuhi
peraturan daur ulang kemasan.
Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal
menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam
cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di
Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara
yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian
kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban
pada segala musim di dalam ruangan produksi.
Peralatan produksi
juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi dari
bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu
pula untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan
Surabaya.
Untuk mendukung produksi Tempe nya Rustono mengadakan
kontrak kerja sama dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga. Sedangkan
mengenai area pemasaran Tempe Rustono, tersebar di kota-kota hampir
seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang
sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan
vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.
Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran
dari pintu ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan
dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip
intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai taraf
pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air, di atas
lahan 1.000 meter persegi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar